Daftar Isi
5. Referensi
1. RIWAYAT HIDUP
Kiai Amin Siroj lahir pada tahun 1940 di Desa Ender Kecamatan Pangenan Kabupaten Cirebon dari pasangan KH. Siroj Gedongan dan Nyai Hj. Fatimatuzzahro, cucu dari KH. Muhammad Said, pendiri Pondok Pesantren Gedongan ini, merupakan putra bungsu dari delapan bersaudara, ketujuh saudaranya adalah:
- Kiai Ma’shum Siroj
- Kiai Yusuf Siroj
- KH. Aqil Siroj
- Nyai Hj. Sholihah Yasin
- Nyai Khodijah Subuki
- KH. Rohmatullah
- Nyai Hj. Zaenab Abu Bakar Shofwan
Dari kedelapan putra-putri Kiai Siroj hanya Kiai Aqil yang menetap di luar Gedongan yakni di Kempek bersama mertuanya, KH. Harun Abdul Jalil. Kakak pertama Kiai Amin Siroj yaitu Kiai Ma’sum yang lebih dulu menetap di Kempek dari pada Kiai Aqil, kembali pulang ke Gedongan, lantaran sang istri yang merupakan kakak kandung dari istri Kiai Aqil telah wafat. Sedangkan Kiai Rahmatulloh yang semula tinggal di Rembang bersama KH. Bisri Mustofa karena sama-sama jadi menantu KH. Kholil, Kasingan, Rembang juga akhirnya kembali pulang ke Gedongan karena ditakdirkan tidak panjang jodoh.
- KH. Wawan Arwani (Pengasuh PP. Nur Arwani, Buntet Pesantren/Rais Syuriah PCNU Kab. Cirebon)
- KH. Imron Rosyadi (Pengasuh PP. Al-‘Afiyah, Buntet Pesantren/Kepala MAN 3 Kab. Cirebon)
- Nyai Ummu (Pengasuh salah satu pesantren di Kajen, Pati)
- Nyai Halimatus Sa’diyyah (Ciputat Timur, Tangerang Selatan)
- Nyai Mumun (Pengasuh PP. Sirojussu’ada, Gedongan, Cirebon)
Pada akhir tahun 2003 setelah sang istri, Nyai Hj. Aeni wafat, beliau memutuskan untuk menikahi adik sang istri, yang bernama, Nyai Hj. Farhah yang kemudian dikenal dengan panggilan ummi.
- Nabi Muhammad SAW
- Fatimah Az-Zahra
- Al-Imam Sayyidina Hussain
- Sayyidina ‘Ali Zainal ‘Abidin bin
- Sayyidina Muhammad Al Baqir bin
- Sayyidina Ja’far As-Sodiq bin
- Sayyid Al-Imam Ali Uradhi bin
- Sayyid Muhammad An-Naqib bin
- Sayyid ‘Isa Naqib Ar-Rumi bin
- Ahmad al-Muhajir bin
- Sayyid Al-Imam ‘Ubaidillah bin
- Sayyid Alawi Awwal bin
- Sayyid Muhammad Sohibus Saumi’ah bin
- Sayyid Alawi Ats-Tsani bin
- Sayyid Ali Kholi’ Qosim bin
- Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut)
- Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin
- Sayyid Amir ‘Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad, India) bin
- Sayyid Abdullah Al-’Azhomatul Khan bin
- Sayyid Ahmad Shah Jalal (Ahmad Jalaludin Al-Khan) bin
- Sayyid Syaikh Jumadil Qubro (Jamaluddin Akbar Al-Khan Al Husein) bin
- Sayyid ‘Ali Nuruddin Al-Khan (‘Ali Nurul ‘Alam)
- Sayyid ‘Umdatuddin Abdullah Al-Khan bin
- Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
- Pangeran Pasarean (Pangeran Muhammad Tajul Arifin)
- Pangeran Dipati Anom (Pangeran Suwarga atau Pangeran Dalem Arya Cirebon)
- Pangeran Wirasutajaya (Adik Kadung Panembahan Ratu)
- Pangeran Sutajaya Sedo Ing Demung
- Pangeran Nata Manggala
- Pangeran Dalem Anom (Pangeran Sutajaya ingkang Sedo ing Tambak)
- Pangeran Kebon Agung (Pangeran Sutajaya V)
- Pangeran Senopati (Pangeran Bagus)
- Pangeran Punjul (Raden Bagus atau Pangeran Penghulu Kasepuhan)
- Raden Ali
- Raden Muriddin
- KH. Raden Nuruddin
- KH. Murtasim (Kakak dari KH Muta’ad leluhur pesantren Benda Kerep dan Buntet)
- KH. Said (Pendiri Pesantren Gedongan)
- KH. Siroj
- KH. Amin
2. SANAD ILMU DAN PENDIDIKAN
Semasa mondok di Pesantren Sarang, beliau satu angkatan dengan KH. Syairozie, (Pendiri Pondok Pesantren Assalafie, Babakan, Cirebon) dan KH. M.A. Sahal Mahfudh (Rais Aam PBNU Periode 2000-2014).
Diceritakan bahwa disaat mengaji kitab, Mbah Sahal mengambil secarik kertas dan menulis syair yang berisi tentang pujian berbahasa Arab yang ditujukkan untuk Kiai Amin yang saat itu berada disampingnya. Lalu, surat itu seketika langsung dibalas oleh Kiai Amin dengan bentuk syair berbahasa Arab pula. Hal itu berlangsung berkali-kali. Bahkan terus berlanjut saat keduanya sudah sama-sama pulang ke rumah.
Menariknya lagi, syair-syair itu baik yang ditulis oleh Mbah Sahal maupun Kiai Amin sampai saat ini masih dihafal baik oleh Kiai Amin sendiri. Padahal surat-surat itu tidak sempat tersimpan (langsung terbuang).
2.2 Guru-Guru
- KH. Aqil Siroj (Kempek)
- KH. Umar Sholeh (Kempek)
- KH. Arwani Amin (Kudus)
- KH. Zubair Dahlan (Sarang)
3. KISAH TELADAN
Ahmad Marzuki, menantu Kiai Amin menuturkan bahwa Kiai Amin semasa masih hidup menghendaki anaknya mengabdi kepada masyarakat, lebih lanjut Ahmad Marzuki juga menceritakan, Kiai Amin merupakan kiai yang rajin mengamalkan ibadah sunnah, terutama amalan shalat sunnahnya yang patut menjadi teladan anak-anak dan santrinya. "Beliau menanamkan kepada kami shalat malam, membiasakan shalat dalam sehari 100 rakaat, membiasakan mandi dini hari untuk menunaikan shalat malam", tutur Marzuki.
Kiai Amin adalah sosok kiai yang sangat menyayagi binatang kucing. Tak heran, kalau di rumahnya terdapat banyak kucing, beberapa di antaranya ada yang diberi nama seperti Shinta, Thowil (karena bentuknya panjang) dan lain-lain.
Kucing yang dipelihara oleh Kiai Amin semuanya kucing lokal atau rumahan, bukan kucing jenis anggora atau sejenisnya yang memiliki harga yang mahal. Beliau yang merupakan adik dari Almarhum Kiai Aqiel Siroj ini hanya ingin meniru Nabi Muhammad SAW, yang sangat menyayangi hewan tersebut.
Diceritakan oleh H. Benny Saputra (Kang Beny), seorang keturunan Tionghoa yang juga alumni Pesantren Gedongan di acara Mendak ke-5 Ibundanya, Ny Nany Beng. Kang Beny menceritakan bahwa kunci kesuksesan dan kebahagiaan adalah berbakti pada kedua orang tua, menyayangi sesama manusia, fakir miskin serta tidak berbuat kasar pada Binatang, begitulah pesan Kiai Amin.
Kang Beny juga menceritakan sosok Kiai Amin Siroj, salah seorang gurunya ketika mesantren di Pesantren Gedongan. Menurut Kang Beny, Kiai Amin adalah sosok yang sangat menyayangi kucing.
Suatu hari, ketika Kang Beny masih mesantren di Gedongan, tiba-tiba Kang Beny dipanggil oleh Kiai Amin. “Ben, iki mene ana kucing mati. Ditahlili ya,” kata Kiai Amin. Karena yang menyuruh Kiai, maka Kang Beny langsung menjawab “Nggih, Kiai”. Kemudian sesuai perintah kiai, kucing yang mati tadi dikubur kemudian ditahlili.
Kiai Amin juga begitu bahagia ketika ada salah satu kucingnya yang melahirkan. Satu minggu sebelum Kiai Amin wafat, Karena bahagia kucingnya melahirkan, Kiai Amin memerintahkan santrinya untuk surak (bagi-bagi uang dengan cara dilempar) sebanyak dua juta rupiah. “Iki cah ana duit rong juta kanggo surak, syukuran” ujar kiai Amin.
4. PENGABDIAN
Pada permulaan kepemimpinan Kiai Amin sampai wafatnya, Kiai Amin Siroj sangat gigih dan semangat dalam mengasuh dan mengembangkan Pesantren Gedongan meskipun pada masa tersebut adalah masa-masa sulit lantaran Indonesia saat itu sedang mengalami krisis moneter.
Selain itu juga menghadapi semakin modernnya zaman yang menjadi tantangan besar bagi pondok pesantren salaf seperti Pesantren Gedongan tapi dengan kegigihan dan kesemangatan Kiai Amin-lah Pesantren Gedongan dapat menjaga eksistensi serta kualitasnya dalam mendidik penerus bangsa.Pesantren Gedongan saat awal KH. Amin Siroj menjadi sesepuh, berada dalam keadaan yang masih belum terlalu kuat secara sistem pendidikan karena baru diberikan pondasi awal oleh sesepuh sebelumnya.
Dan secara sarana dan prasana pesantren pun pesantren Gedongan masih minim seperti masih banyaknya bangunan-bangunan tua dan asrama-asrama santri yang tidak layak huni tapi masih dipergunakan. Namun di bawah kepemimpinan sesepuh KH. Amin Siroj, pesantren Gedongan berkembang secara bertahap dan dengan santri yang semakin bertambah.
4.2 Mustasyar PWNU Jawa Barat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar