DAFTAR ISI PROFIL KH. HASAN SAIFUR RIJAL GENGGONG
- Kelahiran
- Kisah Semasa Kecil
- Wafat
- Keluarga
- Pendidikan
- Pengasuh Pesantren
- Pejuang Kemerdekaan
- Keistimewaan
- Chart Silsilah Sanad
KELAHIRAN
KH. Hasan Saifur Rijal lahir pada 28 Oktober 1928 atau yang bertepatan pada 13 Jumadil Awal 1347 H di Desa Karangbong, Kecamatan Pajarakan, Kabupaten Probolinggo. Beliau merupakan putra dari pasangan KH. Mohammad Hasan dan Nyai Hj Siti Aminah binti H. Bakri.
Nama kecil KH. Hasan Saifur Rijal adalah Non Ahsan. Nama Hasan Saifur Rijal didapatkannya saat menunaikan ibadah haji. Nama tersebut diajukannya kepada seorang wali dan ulama besar di masanya yaitu Sayyid Muhammad Amin Al-Kutbi. Ketika nama itu diajukan Sayyid Muhammad Amin Al-Kutbi mengatakan, saya belum pernah memberi nama seperti ini, Sayyid Amin bertanya,kamu dari mana? Dari Indonesia jawab Non Ahsan.
Sayyid Muhammad Amin Al-Kutbi bertanya lagi, kamu putranya siapa? Non Ahsan menjawab saya putra Kiyai Muhammad Hasan Genggong.
Sayyid Amin Al-Kutbi berkata kepada Non Ahsan bahwa Kiyai Muhammad Hasan adalah seorang 'Allamah (sangat Alim dan luas pengetahuan ilmu agamanya) setelah itu Sayyid Muhammad Amin Al-Kutbi menyetujui nama itu untuk digunakan Non Ahsan.
KISAH MASA KECIL
Masa kecil Non Ahsan banyak memberikan gambaran betapa sulitnya beliau menjalani kehidupan. Tak banyak kisah indah yang beliau lalui saat itu. Hal itu bermula ketika kedua orang tua beliau, KH Mohammad Hasan dan Nyai Hj Siti Aminah mengalami firaq (perceraian). Pada perkembangannya, Non Ahsan menjalani kehidupan bersama sang ibunda.
Non Ahsan dan ibundanya pernah tinggal di Kabupaten Bondowoso selama beberapa saat. Ibu dan anak ini juga tinggal di Jl. KH. Ahmad Dahlan, Kelurahan Kebonsari Kulon, Kecamatan Mayangan, (kini Kecamatan Kanigaran), Kota Probolinggo. Hingga kini, rumah tersebut ditempati kerabat Non Ahsan dari ibundanya.
Banyak kisah sedih yang harus beliau lalui selama menjalani kebersamaannya dengan Nyai Hj Siti Aminah. Riwayat yang berkembang di kalangan masyarakat, Non Ahsan juga turut membantu kehidupan ekonomi keluarganya. Beliau tak segan berjualan makanan ringan. Beliau juga pernah menjadi pedagang asongan.
Lokasi berjualan Non Ahsan kebanyakan di kawasan terminal Bayuangga. Sebagaimana pedagang asongan, yang dijual tentu makanan seperti kacang, telur asin, permen, dan minuman. Tak hanya di terminal, beliau juga menjajakan dagangannya pada saat ada pertandingan sepak bola. Untuk melepas penat, sesekali beliau bermain bola bersama teman sebayanya. Khususnya pada saat lapangan sepak bola tidak sedang digunakan. Beliau juga mengantarkan kacang goreng dan makanan ringan lainnya ke toko-toko.
Kondisi yang sama juga beliau lalui ketika masih tinggal di Kabupaten Bondowoso. Hal itu beliau jalani dengan ikhlas dan sabar. Sebagai seorang putra ulama besar, tentu kisah ini cukup memilukan. Namun beliau juga mampu menunjukkan kebesaran jiwa selama menjalani kehidupan tersebut. Tak mudah menjalani kehidupan sekeras itu bagi seorang anak yang belum menginjak remaja.
Didikan yang tepat dari kedua orang tua membuat Non Ahsan tumbuh menjadi pribadi yang mengesankan. Beliau dikenal sebagai anak tawaddhu' (patuh). Sikap patuh yang tinggi diwujudkan dalam kesehariannya. Di hadapan sang ibunda, tak sekalipun Non Ahsan mengucapkan kata “tidak”. Khususnya ketika beliau diperintahkan untuk melakukan sebuah tugas.
Sikap itu juga ditunjukkan ketika ibundanya marah karena suatu hal. Non Ahsan hanya menundukkan kepala. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya sebagai bentuk membantah. Justru beliau memohon pada ibundanya agar sudi mengampuni kesalahannya. Sikap itu ditularkan kepada kerabatnya yang lain.
Setiap kali Non Ahsan hendak keluar rumah, ia selalu berpamitan kepada sang ibunda. Ia akan keluar jika ibundanya mengizinkan. Namun sebelum benar-benar keluar rumah, Non Ahsan pasti menanyakan lebih dulu, apakah ibundanya membutuhkan Non Ahsan untuk sejumlah keperluan. Jika sang ibunda memerlukan, Non Ahsan pun mengurungkan niat keluar rumah.
Cara Non Ahsan berpamitan pada ibunya, tak seperti kebanyakan orang. Ia dengan sepenuh hati selalu mengecup sekujur telapak kaki ibundanya. Dalam pengertian “surga di bawah telapak kaki ibu”, Non Ahsan sudah melakukannya sejak kecil, tanpa perlu mengucapkan kalimat itu sendiri.
Non Ahsan secara istiqomah berangkat ke masjid untuk menunaikan sholat. Ia juga mengajak kerabatnya ke masjid. Tak hanya itu, beliau juga senantiasa membimbing bocah lain yang setara atau lebih muda usianya. Rutinitas beribadah di masjid itu beliau lakukan setiap hari, sepanjang hidupnya.
Non Ahsan pantang terlambat dalam menunaikan shalat berjamaah. Beliau memahami betul manfaat dari shalat berjamaah itu. Hal itu mendasari beliau untuk terus mengajak keluarganya, untuk istiqamah menunaikan ibadah shalat berjamaah di masjid.
WAFAT
Jauh-jauh hari KH. Hasan Saifur Rijal telah mengetahui bahwa ia akan wafat hari Jum'at. Suatu hari, beliau sempat meminta kepada putra-putrinya agar tidak dibawa ke rumah sakit, meski saat itu beliau sedang sakit parah. Pada suatu hari Senin, karena parahnya sakit yang diderita, beliau merasakan kakinya sudah dingin, detak jantungnya pun melemah. Lalu KH. Hasan Saifur Rijal berkata, "aku kok mau dicabut sekarang, aku mau meninggal hari Jum'at."
Siang hari Jum'at 13 Juni 1991 ketika salah seorang khadimnya Anam sedang menemaninya, KH. Hasan Saifur Rijal bertanya kepada Anam, "Kamu mau minta apa padaku?" Anam khadimnya Kiyai pun menjawab, "tidak minta apa-apa Kiyai." Pertanyaan itu diulang sampai tiga kali, Anam pun menjawab dengan kalimat yang sama.
Setelah itu KH. Hasan Saifur Rijal menepuk bahu Anam sebanyak tiga kali seraya mengatakan, "Akhlaq, Akhlaq, Akhlaq Nam." Tak lama setelah itu KH. Hasan Saifur Rijal wafat.
KELUARGA
KH. Hasan Saifur Rijal menikah dengan Nyai Hj Himami Hafshawati pada tahun 1952.
PENDIDIKAN
Kehidupan Non Ahsan bersama ibunya boleh dibilang tidak serba berkecukupan. Meski berangkat dari kondisi yang seperti itu, beliau masih bersemangat untuk menuntut ilmu. Baik pendidikan formal maupun pendidikan nonformal. Beliau tercatat sebagai salah satu murid di bangku Madrasah Ibtidaiyah di wilayah Kota Probolinggo hingga kelas 5. Sementara pendidikan kelas 6 dijalani di sekolah rakyat (SR; setingkat SD) di Bondowoso pada tahun 1940.
Memasuki usia 16 tahun, saat itu tahun 1944, Non Ahsan diminta untuk kembali ke Ponpes Genggong oleh sang ayahanda, KH. Mohammad Hasan. Sang ibunda mengizinkan Non Ahsan berkumpul kembali dengan ayahandanya itu.
Panggilan sang ayahanda dipenuhi Non Ahsan. Sekitar 2 tahun hingga berusia 18 tahun, Non Ahsan menuntut ilmu di Ponpes Genggong. Beliau belajar langsung di bawah bimbingan dan pengawasan ayahandanya yakni KH. Muhammad Hasan Genggong.
Menginjak remaja, KH. Hasan Saifur Rijal kembali ke Pesantren Genggong. KH. Hasan Saifur Rijal merupakan teladan yang istiqomah. Beliau tidak pernah meninggalkan sholat wajib berjamaah, salat sunnah Dhuha berjamaah, dan membaca wirid.
“Kalian harus rajin sholat berjamaah. Saya sendiri, tidak pernah meninggalkan sholat berjamaah sejak usia 12 tahun dan sholat Dhuha tidak pernah lowong sejak usia 15 tahun,” ujar Kiyai Saiful Islam putranya menirukan pesan KH. Hasan Saifur Rijal.
Pada tahun 1946 atau pada saat usia beliau 18 tahun, Non Ahsan berangkat menuntut ilmu di sejumlah pondok pesantren. Khususnya pondok pesantren yang diasuh oleh sahabat-sahabat ayahandanya saat mondok di Madura. Di antaranya Pesantren Tebuireng Jombang, yang diasuh oleh KH. Hasyim Asy’ari. Beliau juga sempat mengenyam pendidikan di Ponpes Peterongan, Jombang, dan juga Ponpes Lirboyo, Kediri.
PENGASUH PESANTREN
KH. Hasan Saifur Rijal merupakan pengasuh pesantren ketiga Pondok Pesantren Genggong. Didirikan oleh KH. Zainal Abidin pada awal abad 19, pengasuh kedua ponpes ini adalah KH. Mohammad Hasan. Beliau menjadi pengasuh pada kurun 1890-1952 masehi, dan wafat pada tahun 1955. Namun sebelum wafat, KH. Mohammad Hasan menyerahkan tongkat kepemimpinan pesantren kepada KH. Hasan Saifur Rijal pada 1952.
Prosesi penyerahan amanat itu cukup mengharukan. KH. Mohammad Hasan memberikan sebuah peci berwarna putih. Peci itu dipakaikan langsung oleh beliau sebagai simbol pergantian kepemimpinan. Sejak itulah segala hal yang bersangkutan dengan pesantren diserahkan kepada KH. Hasan Saifur Rijal.
Kematangan pengetahuan beliau tak hanya di bidang yang lumrah dikenal seorang ulama. Namun beliau juga memiliki kemampuan menggubah syair, menciptakan lagu, hingga mengaransemen sendiri lagu tersebut. Vokalisnya adalah para santri sendiri, putra-putri. Pada 1990-an, sebuah album musik pesantren diterbitkan. Album ini cukup populer di kalangan sejumlah ponpes lain binaan Ponpes Genggong.
Lain lagi ketika Kiyai Hasan berinisiatif membentuk grup drum band yang beranggotakan para santri. Awalnya langkah tersebut sempat ditentang kalangan ulama. Namun langkah itu justru diikuti kalangan ulama tersebut. Justru banyak pesantren lain berlomba-lomba membentuk drum band. Kiyai Hasan Saifur Rijal menunjukkan bahwa pesantren bukanlah kalangan yang kaku.
Jiwa seni rupanya cukup kuat mengalir dalam darah KH. Hasan Saifur Rijal. Bahkan hal itu tampak di waktu-waktu senggang. Misalnya untuk mengusir kegalauan dan kepenatan pikiran, beliau sering berdendang atau mendengarkan lagu. Baik lagu padang pasir, lagu barat ataupun instrumental. Bahkan juga lagu jenis love story, juga menjadi koleksi musik yang diidolakan beliau.
PEJUANG KEMERDEKAAN
Menilik pada sejarah panjang kehidupan beliau, patriotisme membela negara adalah salah satu bentuk ibadah dan pengabdiannya kepada bangsa. Seakan beriringan dengan semangat kelahiran sumpah pemuda yang bersamaan dengan kelahiran beliau.
Sebuah bukti, tak lain ketika terjadi agresi militer belanda ke-2 pada 1948. Kala itu usia beliau masih 20 tahun, KH. Hasan Saifur Rijal sudah memimpin perang gerilya di Tulangan, Sidoarjo. Beliau tergabung dalam Laskar Hizbullah.
Sebelum terjun ke medan Sidoarjo, KH. Hasan Saifur Rijal pernah melempar granat toko seorang antek Belanda. Usai melakukannya, beliau menyampaikan kejadian itu kepada sang ayahanda, KH. Mohammad Hasan. Namun sang putra ditegur ayahanda, “Kok digranat nak? Nanti Belanda marah. Kasihanilah masyarakat,” tegur KH. Mohammad Hasan.
Sejak kejadian itulah KH. Hasan Saifur Rijal diizinkan menjadi tentara dan bergabung dengan pasukan Hizbullah. Restu ayahandanya itu makin mendorong beliau untuk berjuang di garis terdepan.
KH. Hasan Saifur Rijal mendapat tugas dari ayahnya untuk melakukan penyimpanan senjata para gerilyawan di pesantren Genggong. Rupanya tugasnya ini tercium oleh mata-mata antek Belanda, yang kemudian melaporkannya ke pihak pasukan Belanda.
Tidak lama kemudian datanglah pasukan Belanda ke pesantren dan mengadakan penggeledahan. Tapi mereka tidak menemukan sepucuk senjata pun.
Karena penasaran dan marah, mereka menangkap KH. Hasan Saifur Rijal dan bermaksud membawanya ke markas pasukan Belanda dengan Truk.
Namun saat truk hendak dijalankan, tiba-tiba mesin truk itu mati. Akhirnya KH. Hasan Saifur Rijal tidak jadi dibawa ke markas pasukan Belanda.
Setelah KH. Hasan Saifur Rijal turun dari truk mesin truk kembali bisa dihidupkan dan dapat dijalankan, kemudian mereka menaikkan kembali KH. Hasan Saifur Rijal ke atas truk dan kembali truk tersebut mati. Akhirnya Belanda menyerah dan kembali ke markas dengan tangan kosong. Entah kenapa di tengah perjalanan 3 km dari arah Utara Pajarakan truk Belanda tersebut terguling.
KEISTIMEWAAN
KH. Hasan Saifur Rijal Muda dikenal sosok pemuda yang cerdas. Kecerdasan itulah yang memudahkannya menuntut ilmu. Karena itu cukup sering KH. Hasan Saifur Rijal diajak sang ayahanda untuk mengikuti berbagai acara pengajian. Bahkan pernah diundang untuk berceramah di pengajian umum. Pertama kali menjadi muballigh adalah ketika usia beliau masih 10 tahun. Saat itu, beliau masih duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah (MI).
CHART SILSILAH SANAD
Berikut ini chart silsilah sanad guru KH. Hasan Saifur Rijal Genggong dapat dilihat di sini.
Sumber kopas: Biografi KH. Hasan Saifur Rijal Genggong | Profil Ulama › LADUNI.ID - Layanan Dokumentasi Ulama dan Keislaman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar