Daftar Isi Profil KH. Mohammad Hasyim Asy’ari
3. Mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng
1. RIWAYAT HIDUP DAN KELUARGA
- Husain bin Ali
- Ali Zainal Abidin
- Muhammad al-Baqir
- Ja’far ash-Shadiq
- Ali al-Uraidhi
- Muhammad an-Naqib
- Isa ar-Rumi
- Ahmad al-Muhajir
- Ubaidullah
- Alwi Awwal
- Muhammad Sahibus Saumiah
- Alwi ats-Tsani
- Ali Khali’ Qasam
- Muhammad Shahib Mirbath
- Alwi Ammi al-Faqih
- Abdul Malik (Ahmad Khan)
- Abdullah (al-Azhamat) Khan
- Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan)
- Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar)
- Maulana Ishaq
- ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri)
- Abdurrohman / Jaka Tingkir (Sultan Pajang)
- Abdul Halim (Pangeran Benawa)
- Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda)
- Abdul Halim
- Abdul Wahid
- Abu Sarwan
- KH. Asy’ari (Jombang)
- KH. Hasyim Asy’ari (Jombang)
Setelah istri pertama wafat, kemudian Kiai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh putri dari Kiai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Buah dari pernikahannya, Kiai Hasyim dan Nyai Nafiqoh dikaruniai 10 anak.
Dalam membina mahligai rumah tangga dengan istri kedua, Kiai Hasyim mengalami hal yang sama dengan istri yang pertama, pada tahun 1920, Nyai Nafiqoh wafat, dan meninggalkan Kiai Hasyim untuk selama-lamanya.
Hal ini, membuat Kiai Hasyim tidak mau larut dalam terus menerus larut dalam kesedihan, karena beliau harus memikirkan, anak-anaknya yang yang harus dirawat akhirnya Kiai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri dari Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan tersebut, Kiai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri.
2. SANAD ILMU DAN PENDIDIKAN BELIAU
Ketika usia menginjak 15 tahun, Kiai Hasyim mulai berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, diantaranya: Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.
Di Pesantren Siwalan, Sidoarjo, yang diasuh oleh Kiai Ya’qub inilah, rupanya Kiai Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kiai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup waktu lima tahun, bagi Kiai Hasyim untuk menyerap ilmu di Pesantren Siwalan.
Dengan kecerdasan dan kealiman yang dimiliki oleh Kiai Hasyim, rupanya membuat Kiai Ya’qub sendiri kesemsem berat kepada Kiai Hasyim. Akhir, Kiai Ya’qub menikahkan salah satu putrinya yang bernama Khodijah dengan Kiai Hasyim.
Tidak lama setelah menikah, Kiai Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, namun sayangnya, istri dan anaknya sudah meninggal.
Pada tahun 1893, Kiai Hasyim berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah Kiai Hasyim menetap di Mekkah selama 7 tahun.
2.2 Guru-guru
- Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau
- Syaikh Mahfudz At-Tarmasi
- Syaikh Ahmad Amin Al Aththar
- Syaikh Ibrahim Arab
- Syaikh Said Yamani
- Syaikh Rahmaullah
- Syaikh Sholeh Bafadlal
- Sayyid Abbas Maliki
- Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf
- Sayyid Husein Al Habsyi
- KH. Muhammad Saleh Darat, Semarang
- KH. Kholil Bangkalan
- Kyai Ya’qub, Sidoarjo
- Sayyid Husain Al Habsyi
- Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani
- Sayyid Abdullah al-Zawawi
- Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas
- Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi
- Sayyid Ahmad Zaini Dahlan
- Memperoleh ijazah dari Habib Abdullah bin Ali Al Haddad
- Syekh Imam Nawawi al-Bantani
- Sayyid al Bakry Muhammad Syatho
- Muhammad Amin Al Kurdi
- Yusuf bin Ismail Anabhani
3. MENDIRIKAN PONDOK PESANTREN TEBUIRENG
Pada tahun l899, Kiai Hasyim pulang ke Tanah Air.Kiai Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kiai Utsman. Tak lama kemudian, Kiai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal.
Dari tratak kecil inilah Pesantren Tebuireng mulai tumbuh. Kiai Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang dan setiap bulan setiap bulan santri beliau semakin banyak berdatangan dari berbagai daerah.
Kiai Hasyim bukan saja Kiai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kiai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah Kiai Hasyim memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kiai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.
4. PENERUS
Setelah mendirikan pesantren, satu persatu santrinya berdatangan untuk ikut mengaji di Pondok Pesantren Tebuireng. Hingga akhirnya, ribuan santri menimba ilmu kepada Kiai Hasyim dan menciptakan alumni-alumni yang menjadi tokoh-tokoh, ulama-ulama, kiai-kiai dan lain sebagainya.
4.1 Anak-anak
- Ny. Hannah
- Ny. Khairiyah Hasyim
- Ny. Aisyah
- Ny. Azzah
- KH. Abdul Wahid Hasyim
- KH. Abdul Choliq Hasyim
- KH. Abdul Karim Hasyim
- KH. Ubaidillah
- Ny. Mashuroh
- KH. Muhammad Yusuf Hasyim
- KH. Abdul Qodir
- Ny. Fatimah
- Ny. Khotijah
- KH. Ya'qub Hasyim
- KH. Abdul Wahab Hasbullah, Pesantren Tambak Beras, Jombang
- KH. Bisri Syansuri, Pesantren Denanyar, Jombang
- KH. R As’ad Syamsul Arifin
- KH. Wahid Hasyim (anaknya)
- KH. Achmad Shiddiq
- Syekh Sa’dullah al-Maimani (Mufti di Bombay, India)
- Syekh Umar Hamdan (Ahli Hadis di Makkah)
- Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria)
- KH. R Asnawi(Kudus)
- KH. Dahlan(Kudus)
- KH. Shaleh (Tayu)
- KH. Zaini Mun'im
5 . JASA DAN KARYA
Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum datang juga. Kiai Hasyim sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, KH. Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan.
Sementara jarak antara Jombang dengan Bangkalan, adalah jarak yang sangat jauh. Tetapi dengan kelebihan yang diberikan Allah SWT, Kiai Khalil yang berada di Bangkalan mengetahui apa yang dialami Kiai Hasyim.
Kemudian, Kiai Kholil lalu mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak KH. R As’ad Syamsul Arifin menjadi pengasuh Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tongkat kepada Kiai Hasyim di Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 kepada Kiai Hasyim.
Ketika Kiai Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata.
Waktu terus berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya Kiai Hasyim masih menunggu kemantapan hati.
Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang menemui Hadratus Syaikh. ”Kiai, saya diutus oleh Kiai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda Asad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kiai Kholil di lehernya.
Tangan As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih. Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah Kiai, maka yang boleh melepasnya juga harus Kiai”. Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada sang guru.
”Kiai Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad.
Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati Kiai Hasyim semakin mantap. Hadratus Syaikh menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui salat istikharah.
Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M, organisasi tersebut secara resmi didirikan, dengan nama Nahdlatul Ulama, yang artinya kebangkitan ulama. Kiai Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama.
Justru Kiai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan dengan membuat perintah kepada para santri dan pengikutnya, perintah tersebut berisi tentang, pertama, Kiai Hasyim memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Kedua, Kiai Hasyim mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda.
Perintah tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas.
Hal ini tentu saja membuat, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung dan akhirnya dengan peraturan yang dibuat oleh Kiai Hasyim, beliau di penjara 3 bulan pada 1942. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama Kiai Hasyim.
Pada tahun 1913 M intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kiai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan.
Dalam pemeriksaan, Kiai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum.
Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an.
Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang.
Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim.
Salah satu perlakuan represif Jepang adalah dengan penahanan terhadap Hadratus Syaikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kiai Hasyim menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang.
Kiai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kiai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya.
Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kiai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan.
Setelah penahanan Hadratus Syaikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng, Jombang vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh tercerai berai. Isteri Kiai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.
Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kiai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para Kiai dan santri. Selain itu, pembebasan Kiai Hasyim juga berkat usaha dari KH. Wahid Hasyim dan KH. Abdul Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.
Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kiai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut. Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya.
Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 November kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.
Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kiai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kiai Hasyim.
- At-Tibyan fi al-Nahy’an Muqatha’at al-Arham wa al-Aqarib wa al-IkhwanKitab ini selesai ditulis pada hari Senin, 20 Syawal 1360 H dan kemudian diterbitkan oleh Muktabah al-Turats al-Islami, Pesantren Tebuireng. Kitab tersebut berisi penjelasan mengenai pentingnya membangun persaudaraan di tengah perbedaan serta memberikan penjelasan akan bahayanya memutus tali persaudaraan atau silatuhrami.
- Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul UlamaKitab ini berisikan pemikiran KH. Hasyim Asy’ari. Terutama berkaitan dengan NU. Dalam kitab tersebut, KH. Hasyim Asy’ari mengutip beberapa ayat dan hadits yang menjadi landasannya dalam mendirikan NU. Bagi penggerak-penggerak NU, kitab tersebut barangkali dapat dikatakan sebagai bacaan wajib mereka.
- Risalah fi Ta’kid al-Akhdzi bi Mazhab al-A’immah al-Arba’ahDalam kitab ini, KH. Hasyim Asy’ari tidak sekedar menjelaskan pemikiran empat imam madzhab, yakni Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan ImamAbu Ahmad bin Hanbal. Namun, ia juga memaparkan alasan-alasan kenapa pemikiran di antara keempat imam itu patut kita jadikan rujukan.
- Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyat Nahdlatul UlamaSebagaimana judulnya, kitab ini berisi empat puluh hadits pilihan yang sangat tepat dijadikan pedoman oleh warga NU. Hadits yang dipilih oleh KH. Hasyim Asy’ari terutama berkaitan dengan hadits-hadits yang mejelaskan pentingnya memegang prinsip dalam kehidupan yang penuh dengan rintangan dan hambatan ini.
- Adab al-‘Alim wa al-Muta’alim fi ma Yanhaju Ilaih al-Muta’allim fi Maqamati Ta’limihiPada dasarnya, kitab ini merupakan resume dari kitab Adab al-Mu’allim karya Syekh Muhamad bin Sahnun, Ta’lim al-Muta’allim fi Thariqat al-Ta’allum karya Syekh Burhanuddin az-Zarnuji, dan Tadzkirat al-Syaml wa al-Mutakalli fi Adab al-Alim wa al-Muta’allim karya Syekh Ibnu Jamaah. Meskipun merupakan bentuk resume dari kitab-kitab tersebut, tetapi dalam kitab tersebut kita dapat mengetahui betapa besar perhatian KH. Hasyim Asy’ari terhadap dunia pendidikan.
- Risalah Ahl aas-Sunnah wa al-Jamaah fi Hadts al-Mauta wa Syuruth as-Sa’ah wa Bayani Mafhum as-Sunnah wa al-Bid’ahKarya KH. Hasyim Asy’ari yang satu ini barangkali dapat dikatakan sebagai kitab yang relevan untuk dikaji saat ini. Hal tersebut karena di dalamnya banyak membahas tentang bagaimana sebenarnya penegasan antara sunnag dan bid’ah. Secara tidak langsung, kitab tersebut banyak membahas persoalan-persoalan yang bakal muncul di kemudian hari. Terutama saat ini.
Dalam beberapa karya KH. Hasyim Asy’ari tersebut, kita dapat menyimpulkan betapa besar dan luasnya perhatian KH. Hasyim Asy’ari terhadap agama serta betapa mendalamnya pengetahuannya di bidang tersebut.
Karya-karya KH. Hasyim Asy’ari itu menjadi bukti tak terbantahkan betapa ia memang merupakan seorang ulama sam mujtahid yang telah banyak mengahasilkan berbagai warisan tak ternilai, baik dari segi keilmuan maupun dari segi keorganisasian seperti halnya NU.
6. KISAH TELADAN
Kiai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.”
Tanpa merasa tersanjung, Kiai Kholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kiai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.
Lucunya, ketika turun dari masjid usai salat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya.
Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kiai Hasyim juga KH. Kholil Bangkalan adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati.
KH. Kholil adalah Kiai yang sangat termasyhur pada zamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.
Sedangkan Kiai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kiai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadis Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam.
Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri,KH Kholil Bangkalan. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kiai Hasyim.
Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar) kepada Kiai Hasyim.
Inilah yang dilakukan Kiai Hasyim Asy’ari. Beliau nyantri kepada KH. Kholil Bangkalan, Bangkalan. Di pondok milik Kiai Kholil, Kiai Hasyim dididik akhlaknya. Setiap hari, kiai Hasyim disuruh gurunya merawat sapi dan kambing. Kiai Hasyim disuruh membersihkan kandang dan mencari rumput. Ilmu yang diberikan Kiai Kholil kepada muridnya itu memang bukan ilmu teoretis, melainkan ilmu praktek. langsung penerapan.
Sebagai murid, Kiai Hasyim tidak pernah mengeluh disuruh gurunya melihara sapi dan kambing. Beliau terima titah gurunya itu sebagai penghormatan kepada guru. Beliau sadar bahwa ilmu dari gurunya akan berhasil diperoleh apabila sang guru rida kepada muridnya. Inilah yang dicari Kiai Hasyim, yakni keridaan guru. Beliau tidak hanya berhadap ilmu teoretis dari Kiai Kholiltapi lebih dari itu, yang diinginkan adalah berkah dari Kiai Kholil Bangkalan.
Suatu hari, seperti biasa Kiai Hasyim setelah memasukkan sapi dan kambing ke kandangnya, Kiai Hasyim langsung mandi dan salat Ashar. Sebelum sempat mandi, Kiai Hasyim melihat gurunya, Kiai Kholil termenung sendiri. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di hati sang guru. Maka diberanikanlah oleh Kiai Hasyim untuk bertanya kepada Kiai Kholil.
“Ada apa gerangan wahai guru kok kelihatan sedih,” tanya Kiai Hasyim kepada Kiai kholil Bangkalan.
”Bagaimana tidak sedih, wahai muridku. Cincin pemberian istriku jatuh di kamar mandi. lalu masuk ke lubang pembuangan akhir (septictank),” jawab Kiai Kholil dengan nada sedih.
Mendengar jawaban sang guru, Kiai Hasyim segera meminta izin untuk membantu mencarikan cincin yang jatuh itu dan diizini. Langsung saja Kiai Hasyim masuk ke kamar mandi dan membongkar septictank.
Bisa dibayangkan, namanya septitank dalamnya bagaimana dan isinya apa saja. Namun Kiai Hasyim karena hormat dan sayangnya kepada guru tidak pikir panjang. Beliau langsung masuk ke septitank itu dan dikeluarkan isinya. Setelah dikuras seluruhnya, dan badan Kiai Hasyim penuh dengan kotoran, akhirnya cincin milik gurunya berhasil ditemukan.
Betapa riangnya sang guru melihat muridnya telah berhasil mencarikan cincinnya itu. Sampai terucap doa: “Aku rida padamu wahai Hasyim, Kudoakan dengan pengabdianmu dan ketulusanmu, derajatmu ditinggikan. Engkau akan menjadi orang besar, tokoh panutan, dan semua orang cinta padamu”.
Demikianlah doa yang keluar dari KH. Kholil Bangkalan.Tiada yang memungkiri bahwa di kemudian hari, Kiai Hasyim menjadi ulama besar Disamping karena Kiai Hasyim adalah pribadi pilihan, beliau mendapat “berkah” dari gurunya karena gurunya rida kepadanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar