Eyang Dalem Ibrahim Cipatik
Di Kabupaten Bandung Barat, tepatnya di Kampung Tambakan, Desa Cipatik, ada sebuah jalan sepanjang kurang lebih 300 meter yang diberi nama Jalan Makam Eyang Dalem Ibrahim, di situlah tepatnya sebuah kompleks pemakaman umum Pataruman tempat disemayamkannya seorang ulama terkenal ahli tafsir, Eyang Dalem Raden Ibrahim, tepat berseberangan dengan Pondok Pesantren Manba'ul Falah asuhan KH Ahmad Ali Sururi.
Namun, penduduk di sekitarnya tidak banyak yang mengetahui siapakah Eyang Dalem Ibrahim itu? Bahkan mereka tidak tahu di situ ada makam seorang ulama kenamaan. Memang selama ini kurang sekali data yang akurat dan terpercaya mengenai sejarah kehidupan, silsilah, dan sepak terjang ulama solihin ini. Pengetahuan mengenai Eyang Dalem Ibrahim selama ini hanya disampaikan dari mulut ke mulut oleh beberapa tokoh agama di masyarakat.
Seperti diceritakan KH M. Muhyiddin Abdul Qadir Al-Manafi, MA pengasuh Pondok Pesantren Asy Syifaa' Wal Mahmuudiyyah Pamulihan Kab. Sumedang, Eyang Dalem Raden Ibrahim yang dilahirkan di Cipatik, memang sejak kecil sudah menunjukkan kelebihannya dibandingkan rata-rata anak seusianya. Tentu saja karena ia mendapat didikan keagamaan dari bapaknya, Eyang Dalem Anggayudha, ulama terkemuka yang makamnya berada di Cicapar, Garut. Dan kakek beliau juga seorang ulama, Eyang Rangga Abdul Gholib yang dimakamkan di Ranca Panggung, Kec. Cililin, Kab. Bandung Barat.
Memiliki karomah sejak kecil
Sejarah kelahiran dan masa kecil Raden Ibrahim tidak banyak diketahui, pasalnya tidak ada dokumen tertulis maupun bukti-bukti otentik, yang ada berupa dongeng dari mulut ke mulut. Maka tidaklah aneh jika cerita masa kecil beliau dihiasi dengan cerita-cerita yang tidak masuk akal. Bocah berumur beberapa tahun ini dikatakan telah memiliki kesaktian atau karomah, ia bisa menghilang dan juga bisa terbang saat dikepung masyarakat karena kenakalannya.
Menurut pimpinan Pondok Pesantren Asy Syifaa' Wal Mahmuudiyyah ini, Raden Ibrahim pernah menimba ilmu keagamaan atau masantren di Surabaya hingga berumur 50 tahun. Selesai masantren ia menyebarkan ajarannya di Sumedang dan diminta oleh Pangeran Sumedang untuk menetap menjadi ulama di Sumedang. Namun Raden Ibrahim dengan halus menolaknya karena beliau ingin pulang kampung ke Cipatik untuk mendirikan pesantren sendiri dan menyebarkan ilmu agamanya. Sebagai gantinya ia mengutus putranya KH Muhammad Hasan (Penghulu Buchori) untuk menjadi ulama di Sumedang sampai wafatnya, dan kini makamnya ada di kompleks pemakaman Gunung Puyuh Sumedang berdekatan dengan para pangeran Sumedang dan makam pahlawan nasional Cut Nyak Dien.
Karomah Eyang Dalem Ibrahim Cipatik
Kaki tentara Belanda kesemutan
Eyang Dalem Ibrahim sebenarnya bukanlah seorang dalem (pemimpin politik di zaman kolonial Belanda), faktanya ia menolak ketika akan diangkat sebagai dalem oleh Belanda, sehingga pihak Belanda merasa geram karena perintahnya ditolak.
Karena penolakan dari Eyang Ibrahim ini, Belanda mengancam akan memenjarakan sang ulama kharismatik ini.
Untuk membuktikan ancamannya tersebut pemerintah Belanda mengirimkan sepasukan tentara untuk menangkap Raden Ibrahim. Namun terjadi hal di luar nalar, seperti diceritakan KH M Muhyiddin Abdul Qadir Al-Manafi, MA, ketika pasukan tentara Belanda itu sampai di pertabasan Cipatik, tak seorang pun dari ratusan tentara tersebut mampu menjejakkan kakinya masuk melewati batas daerah Cipatik, mereka semua merasakan kakinya kesemutan saat memaksa masuk daerah Cipatik, sehingga upaya penangkapan ini gagal.
Namun tentara Belanda tak kehilangan akal, mereka pun mengerahkan ribuan pasukan tentara berkuda hanya untuk menangkap seorang ulama. Namun lagi-lagi pasukan berkuda itu gagal memasuki Cipatik, kali ini karomah Eyang Ibrahim menimpa para kuda yang membuat tunggangan tentara itu tiba-tiba mengamuk tanpa sebab, dan membuat pasukan tersebut kalang kabut tak karuan.
Akhirnya Belanda pun menyerah untuk tidak memaksa Raden Ibrahim menjadi dalem, dan meminta ulama Cipatik ini untuk merekomendasikan orang yang pantas untuk menjadi dalem di Cipatik. Eyang Dalem Ibrahim pun menyetujuinya dan menunjuk adiknya Eyang Abdurrahman untuk diangkat sebagai dalem hingga keturunannya pun menjadi dalem-dalem di Bandung. Eyang Dalem Abdurrahman dimakamkan di Kampung Bojong, Kab. Bandung.
Eyang Dalem Ibrahim memiliki keturunan para ulama yang cukup berpengaruh seperti KH Muhammad Hasan (ulama besar Sumedang) dan KH Raden Muhammad Zarkasyi atau sering disebut Mama Cibaduyut yang terkenal saat memimpin perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Silsilah Eyang Dalem Ibrahim Cipatik
Keturunan Prabu Siliwangi
Ada hal yang menarik mengenai silsilah Eyang Dalem Ibrahim ini, banyak tokoh agama dan sumber-sumber lain yang mengatakan beliau ini merupakan keturunan dari Prabu Siliwangi. Seperti diungkap dalam situs medalkawargi.blogspot.com sebagai berikut:
Eyang Dalem Pataruman Raden Ibrahim Bin Raden Rangga Anggayudha Bin Eyang Rangga Abdul Gholib Bin Syeikh Abdul Manan Sontowan Kunur Bin Kyai Gedeng Karta Manggala Bin Kyai Gedeng Rungkang Bin Eyang Dalem Sang Adipati Kertamanah Bin Prabu Larang Jiwa Bin Prabu Lawe Pakuan Bin Pangeran Prabu Kunte Buyeng Bin Raden Pamanah rasa Sri Baduga Maha Raja Prabu Siliwangi.
Demikian sekilas sejarah dan karomah Eyang Dalem Ibrahim yang dimakamkan di Kampung Tambakan, Desa Pataruman, Cipatik Kab. Bandung Barat. Semoga tulisan ini bisa menginspirasi kita semua untuk meneladani kesalehannya dan semoga Allah SWT merahmati dan menerima segala amal baiknya. Amin.
Sumber: Youtube Channel Asy-Syifaa' TV
Tidak ada komentar:
Posting Komentar